Sabtu, 25 Juli 2009

Semangkuk Bakmi

SEMANGKUK BAKMI

©Sebuah cerpen racikanku

Tengs tu Mami Agatha


Lolita duduk di bangku halaman sekolah dengan wajah lesu. Semalam Aditya datang, hanya berkata bahwa dia ingin putus. Mereka sudah berpacaran selama lima bulan, dan Lolita sangat mencintai Aditya. Lolita jogging setiap pagi sebelum berangkat sekolah, demi menjaga berat badannya. Lolita selalu menelepon dan mengirim pesan pendek setiap saat, terutama saat Aditya nge-band bersama teman-temannya. Lolita menyediakan es krim atau cappuccino setiap Aditya datang. Lolita tak mau pergi dengan cowok selain Aditya. Lolita cinta mati pada Aditya.

Lolita selalu menurut kata Aditya: jangan tidur larut malam, kurangi minum kopi, kurangi makanan berlemak, jangan terlalu banyak main sama cowok lain, belajar menyanyi agar bisa ikut nge-band… Demikian hebatnya tekad Lolita hingga rasanya dia sanggup menyatukan galaksi Andromeda dan Bimasakti dalam satu purnama!

Siang itu Lolita tak sanggup lagi membendung tangisnya. Dia menunduk, hingga tak menyadari ada Haris di sisinya.

“Ta?” tegur Haris hati-hati.

Lolita menangis lirih.

“Sori, Lolita…,” Haris meletakkan tangannya di bahu Lolita. Haris memang teman dekat Lolita, tapi mereka tak pernah satu kelas.

Haris adalah pelanggan tetap persewaan film milik kakak Lolita. Mereka juga sering nonton film bareng, terutama film yang diangkat dari kisah nyata. Haris selalu ceria, dia tak pernah menampakkan kesedihan atau mengeluh.

“Ta… Kalau tak keberatan, kamu bisa menceritakan…”

“Kenapa sih, Ris, aku selalu dicampakkan?”

“Selalu dicampakkan?”

“Dulu Arman, Hendrik, dan sekarang Aditya!”

“Ooo…,” Haris berpikir sebentar, “Ehmmm… mungkin kita memang perlu belajar membuat semangkuk bakmi…”

Lolita langsung menoleh, agak tersinggung karena mengira Haris cuma meledek.

“Kamu bercanda? Apa hubungannya?”

“Oke, Ta, kalau kamu mau berlarut-larut dengan kesedihanmu. Tapi sampai kapan, itu perlu kamu tentukan.”

“Aku mencintai Aditya, Ris.”

“Iya, aku tahu… Tapi kalau perasaanmu sudah membaik, temui aku sewaktu-waktu di lapangan basket. Mereka lalu kembali ke kelas, karena bel tanda masuk kelas sudah memanggil.

Seminggu kemudian…

Istirahat sekolah, Lolita dan Dini tak sengaja melewati lapangan basket saat menuju kantin. Haris sedang memantulkan bola, mengopernya pada Sam, lalu melambaikan tangan pada Lolita. Lolita teringat sesuatu, tapi berniat menemui Haris setelah dari kantin.

Di kantin, Lolita dan Dini memesan bakso. Selagi pesanan belum datang, dengan tubuh basah oleh keringat Haris bergabung. Celana abu-abunya juga kusut.

“Tambah mie instan goreng ya, Pak!” teriak Haris. Dia lalu menghadap Lolita.

“Sudah sembuh, Ta? Hehe…” godanya.

Dini yang diam-diam naksir Haris agak kecewa melihat Haris selalu dekat dengan Lolita. Kecewa diam-diam, tentu saja…

“Apa, sih?” sungut Lolita.

“Pokoknya kita belajar membuat semangkuk bakmi, Ta! Kamu akan tau maksudku.”

Makanan pesanan mereka mulai disajikan. Haris mengaduk sebentar mie instan goreng di piringnya.

“Eh, kalian tau, nggak, bedanya mie instan sama bakmi?” tanya Haris sambil mengacungkan garpunya yang dililit mie.

“Ya… kalau mie instan bikinnya gampang, kalo bakmi bikinnya ribet!” jawab Dini antusias.

“Bukan! Kalo mie instan di warungnya Abah Harun, kalo bakmi di Pak No! Ha ha ha…”

Mereka tertawa.

“Ah, payah ah! Haris nggak asik!” kata Lolita.

“Eh, nggak… nggak… becanda. Ini terutama buat Lolita ni ya… Kalo mie instan semuanya serba cepet, kalo bakmi butuh proses. Kamu bener, Din…”

Dini tertawa mendengar kata-kata Haris.

“Aku, lagi!” kata Lolita agak merasa tersindir.

“Sekarang aku tanya Dini, nih… Kalo kamu, suka makan mie instan ato bakmi?”

“Ya bakmi lah, Ris… Tanpa pengawet, pake sayur, sukur-sukur ada daging atau telurnya, hahaha…”

“Suka bikin mie instan ato bakmi?”

Dini berpikir sejenak. “Aaah… ini pertanyaan menjebak nih… sukanya sih bikin mie instan. Cepet sih… Eh kayaknya aku bisa paham arah pembicaraan ini, deh!”

Haris mengerlingkan matanya pada Dini.

“Ta, gimana kamu bisa jalan sama Arman saat SMP?”

“Dia sering pinjam koleksi film Mas Evan, kenalan, trus jadian. Eeeh… ternyata dia cuma nganggep aku adik. Kamu kan udah tau, Ris?”

“Ya… persiapan bikin semangkuk bakmi, sih… Lalu, kalau Hendrik?”

“Bakmi lagi, bakmi lagi! Kalo Hendrik… dia bilang cinta padaku. Ya udah, jalan aja, mumpung aku sendirian dan Hendrik selalu kelas unggulan, hehehe…”

“Aditya?” Kali ini Dini yang bertanya.

“Jelas kalau dia anak band, dan kami langsung jatuh cinta pada pandangan pertama saat festival band pelajar di sini, kan? Kalian kenapa, sih?”

“Seberapa besar cintamu pada Aditya?” tanya Haris.

“Gila! Aku lakukan semua yang dia inginkan, Ris! Aku belajar dari kegagalanku!”

“Kamu yakin, sudah belajar?” selidik Haris, “Sampai membuat bakmi?”

“Naaah… bakmiii, lagiii…!”

Mereka telah menyelesaikan makan saat bel masuk berteriak tiga kali.

“Gini deh, Ta… hari Minggu habis latihan basket aku ke rumahmu.”

Minggu pagi, Lolita di rumah sendirian. Ayah dan ibunya pemilik toko buah-buahan di depan pasar. Evan, kakaknya, berburu film baru di Semarang. Lolita masih mengepel lantai saat Haris datang membawa sepeda gunungnya.

“Ta! Ikut, yuuuk…”

“Basket? Nggak, ah!”

“Ayo, ada yang ingin kutunjukkan padamu…”

“Bakmi?” jawab Lolita sekenanya, sambil memasukkan lap ke dalam ember dan berjalan keluar. Haris diam, menunggu Lolita mendekat.

“Ta, jujur ni, selama ini di lapangan basket ada orang yang diam-diam menaruh perhatian padamu. Naksir kamu. Sumpah, orangnya keren tapi nggak neko-neko! Syaratnya... kamu belajar membuat semangkuk bakmi dulu...”

“Alah! Paling bisa-bisanya kamu aja, Ris!” Lolita menepuk bahu Haris.

“Nah, pelajaran pertama: kamu harus percaya, masih ada orang yang suka kamu!”

“Ngarang, ah! Teori!”

“Eeeh... apa pernah aku bohong padamu?”

Lolita berpikir sejenak. Haris memang teman baik yang selalu bisa dipercaya.

“Gini, Ta... setelah pekerjaanmu selesai, segeralah belanja sebungkus mie instan dan bahan-bahan bakmi.”

“Bingung aku, Ris!”

“Udah... ini uangnya pake punyaku dulu. Serius, Ta. Dua rius, ada orang selapangan denganku udah lama naksir kamu, tapi kamu malah jalan sama Aditya. Sekarang kamu bisa belajar lagi dari awal. Pikirkan itu baik-baik, Ta.”

“Dia suka bakmi?”

“Pokoknya kamu belanja dulu, habis latihan aku kembali.”

Di pasar, Lolita agak pusing juga mencari bahan-bahan bakmi. Jenis mie-nya saja macam-macam, dan Lolita membeli tiga merk berbeda. Sawi, kubis, merica, bawang merah, bawang putih, kecap, tomat... Mie instan sih sudah sangat mudah didapat. Tinggal pilih merk apa, rasa apa, jenis apa. Lolita juga membeli cabai.

Sampai di rumah, Lolita merebus air sambil menerka apa yang ada dalam pikiran Haris. Dalam hati sebenarnya Lolita bersyukur, masih ada yang memperhatikannya. Seperempat jam berikutnya Haris datang dengan keringat bercucuran. Lolita mulai sibuk membuat sepiring mie instan dan semangkuk bakmi. Peraturannya, Lolita membuat sendiri tanpa bertanya atau meminta bantuan orang lain.

Mereka berdua mencicipi hasil karya mereka sendiri. Lolita merasakan mie instan terasa seperti biasanya, dan bakmi yang pedasnya terasa aneh.

“Pake cabe ya, Ta?”

“Emang kalau bakmi nggak pake?”

“Ya enggak, lah! Pakenya cukup merica. Efeknya nggak pedes, tapi hangat...”

“Ehm... iya juga sih, ya... Eh, aku udah bikin mie sama bakmi nih! Boleh ketemu, nggak?”

“Nggak! Bakmi-nya belum bener!”

“Yaaa... kejam amat, sih?”

“Eh, cepet mana bikinnya?”

“Retoris, ah! Nggak perlu dijawab! Dari belanjanya aja cepet mie instan!”

“Namanya juga instan... Eh, besok buat bakmi lagi. Sayurannya masih bisa dipake, ‘kan? Mie-nya pake merk lain ya?”

“Ha?”

“Udah, kalau sudah mahir, kamu boleh ketemu dia. Dia juga temen baikku sih... Jadi, aku nggak mau kamu sembarangan lagi.”

Hari kedua, sepulang sekolah, Lolita membuat sepiring mie instan dan semangkuk bakmi. Haris dan Lolita saling mengomentari. Lolita sudah mulai bisa merasakan bakminya, sementara mie instan rasanya sama, dan malah membuat Lolita merasa eneg. Kali ini Lolita terlalu banyak garam, maka pada pembuatan selanjutnya Lolita hanya mengurangi garamnya. Mie kuningnya sendiri masih enak yang pertama, karena yang kedua agak cepat lembek.

Hari ketiga, Lolita memakan sesendok mie instan, itu saja karena dipaksa Haris. Lolita lebih penasaran dengan semangkuk bakminya, bagaimanapun rasanya. Bahan mie ketiga lebih cepat lembek lagi, padahal bumbunya sudah pas.

“Udah boleh ketemu belum, Ris? Lama-lama aku jadi monster bakmi, nih!”

“Pelajaran kedua: sabarrr! Berdoa!!!” kata Haris sambil menghabiskan mie instan.

Hari keempat, Lolita menggunakan bahan mie pertama dan adonan bumbu hari ketiga. Lolita juga bersemangat berbelanja ke pasar. Kali ini dia ingin menambahkan telur dan irisan daging ayam ke dalam bakminya. Pulang sekolah, Lolita segera mengundang Haris dan Dini datang kira-kira jam lima, saat Haris selesai basket.

“Hmmm... sekarang ini baru bakmi enak!” kata Haris. Dia bahkan tak menyentuh mie instan sama sekali. Pasti rasanya sama, dan timbunan vetsin di dalamnya bisa bikin pusing! Sementara itu Lolita bahkan sudah hampir melupakan rasa penasarannya bertemu teman Haris.

“Ta, hari Selasa sore minggu depan basket sekolah kita tanding di SMA 2. Kamu dateng aja, bawa bakmi sebanyak-banyaknya!”

“Yeee... emang aku tukang bakmi?!”

“Nggak... nggak gitu maksudku. Itu bisa jadi media kamu kenal Sam...” Haris segera menutup mulutnya, “Ups... kelepasan.”

Lolita kaget. Bagaimanapun Sam orang yang sepertinya sangat jaim, nggak bisa diajak komunikasi, dan hidupnya seperti hanya untuk basket. Kalau kata teman-teman di kelasnya sih, Sam termasuk cowok keren. Tapi, bagi Lolita? Kenal aja nggak...

“Sam...? Samsudin? Macam petugas KUA aja!”

“Eh... jangan gitu, Ta... Kamu ‘kan udah dapat pelajaran bikin bakmi, ‘kan?” kata Dini serius.

“Ta... aku setuju,” kata Haris.

Selasa sore, Lolita membawa bakmi-bakminya ke tempat duduk pendukung di tempat Haris bertanding. Dini ada, membawakan tas Haris. Mereka bersorak setiap kali bola di pihak sekolah mereka. Perhatian Lolita terpusat pada Sam dan Haris. Sesekali Sam memang melirik Lolita. Saat Sam mengukir kemenangan, refleks Lolita melonjak dan menarik-narik lengan Dini.


“Ayo... ayo... serbu bakminya!” teriak Haris setelah pertandingan usai. Dia lalu menyodorkan semangkuk pada Lolita, menyikut Lolita, dan pandangan matanya mengarah pada Sam. Sementara Dini sibuk membagi bakmi ke mangkuk-mangkuk.

Saat itu Sam mendekat. Lolita segera menyodorkan semangkuk bakmi. Sikapnya pas, tidak berlebihan, persis racikan bumbu bakmi.

“Lolita, ya?”

“Iya, teman Haris,” kata Lolita. Dia menunggu kata Sam selanjutnya sambil melihat cowok itu menyendok udang dan mulai mengunyahnya.

“Enak, Ta... Terima kasih, kamu dan temanmu sudah repot...”

“Ah... nggak pa-pa... Tapi Dini yang pinter. Aku sih masih belajar.”

Haris dan Dini hanya melihat Lolita dan Sam yang duduk agak menjauh dari mereka. Dini sendiri bahagia bisa datang untuk Haris.

Ternyata Sam tidak seperti pikiran Lolita. Dia pandai bercerita, menarik, dan memang suka bakmi. Bahkan Lolita juga nyaman-nyaman saja mendengarkan kisah pertandingan Sam. Sam juga suka nonton film, terutama film thriller, perang, komedi dan kisah nyata. Tak masalah meskipun Lolita lebih suka film drama, komedi, anak-anak, dan kisah nyata. Benar-benar menarik, tapi Lolita tak mau instan lagi. Dia menikmati saja, mengalir, dan belajar seperti membuat bakmi.

Mungkin memang proses yang panjang, tapi itu lebih baik. Dari menentukan uang belanja, memilih bahan, menjadi arsitek bentuk potongan bahan, komposisi bumbu, pengaturan panas, penuangan minyak, hingga bawang goreng dan modifikasi campuran.

Bahan baik, potongan pas, sudah merupakan sesuatu yang menarik. Komposisi bumbu: apa saja bumbunya, kalau sekarang ada yang kelebihan besok dikurangi, dan kalau sekarang kurang besok ditambah. Jika terlalu panas bisa gosong, kalau minyaknya kebanyakan jadi becek, dan bagaimana kalau dicampur telur, daging ayam, sosis, atau sekedar tahu goreng. Rasa hasil akhirnya berbeda, dan itu yang membuat kita penasaran ingin segera mencicipinya. Semua butuh proses penuh seni, dan itu tak ada pada mie instan.

Lolita juga menyadari bahwa memenuhi semua keinginan kekasihnya hingga tak berpendirian membuatnya merasa konstan, yang diawali dengan jatuh cinta instan. Pantas saja rasanya seperti mie instan, dan dia akan ditinggalkan.

“Ta, aku suka bakmi, loh...,” kata Sam.

“Oya? Kenapa?” tanya Lolita santai.

“Karena aku menghargai perjuangan. Seperti pertandingan ini, ‘kan?”

Lolita dan Sam tertawa. Hanya Tuhan yang tahu bahwa mereka sama-sama berterima kasih pada semangkuk bakmi setelah padaNya. Sam berterima kasih bisa berbincang dengan Lolita karena bakmi yang ditawarkan Lolita. Lolita berterima kasih karena dari semangkuk bakmi dia dapat belajar memulai hari dan cinta baru yang lebih baik.

Karena bakmi yang tinggal semangkuk, Haris dan Dini menikmati berbagi.

LuvLy Salatiga, 270109

07:17am

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut