Selasa, 04 Agustus 2009
Lukman Sardi, Akhirnya Jadi Tentara
Jika ada polling tentang siapa aktor yang paling berbakat di Indonesia saat ini, mungkin salah satunya yang akan mencuat nama Lukman Sardi. Bagaimana tidak, dalam rentang waktu 2005 sampai 2009 sudah 15 judul film yang dibintanginya.
Perannya pun bukanlah hanya peran ecek-ecek. Anak dari pemain biola terkenal Idris Sardi ini selalu memainkan peran yang berbeda dan terkesan sulit untuk dilakonkan. Misalnya saja, ia pernah bermain sebagai seorang demonstran, gangster, gay, suami yang hobi poligami, supir bajaj, calo kawin kontrak, dan juga gigolo. Bahkan tahun ini Lukman bermain menjadi seorang pejuang, dalam film trilogi perang pertama di Indonesia, Merah Putih.
Tapi sebenarnya tidak banyak yang mengetahui kalau karir akting Lukman Sardi dimulai jauh sebelum era perfilman Indonesia bangkit di tahun 2000-an. Sejak berumur 5 tahun, ia sudah berlakon dalam film garapan Wim Umboh berjudul Pengemis dan Tukang Becak. Di film pertamanya saja, Lukman sudah disandingkan dengan nama besar Christine Hakim, Alan Suryaningrat, Ully Artha, Dicky Zulkarnaen, Chris Steven, Henry Susanto, serta sang kakak Ajeng Triani Sardi.
Karirnya sebagai aktor cilik pun sukses menghasilkan 8 judul film, antara lain Kembang-Kembang Plastik, Pengemis dan Tukang Becak, Anak-anak Tak Beribu, Gema Hati Bernyanyi, Laki-Laki Dalam Pelukan, Bermain Drama, Beningnya Hati Seorang Gadis, serta Cubit-Cubitan.
Memasuki bangku SMA, Lukman terpaksa berhenti berakting demi berkonsentrasi pada sekolahnya. Setelah lulus sebagai Sarjana Hukum dari Universitas Trisakti, ternyata ia tidak juga menggunakan gelarnya untuk mencari nafkah, justru ia beralih profesi menjadi sales asuransi serta mendirikan sebuah playgroup.
Garis hidup dan takdir memang bukanlah ditetapkan oleh manusia. Sebuah sinetron berjudul Cinta Yang Kumau, mengembalikan Lukman Sardi kepada takdir yang mungkin memang disediakan untuknya. Dan lewat perannya dalam film Gie, Lukman bisa kembali ke dunia layar lebar yang dulu pernah membesarkannya.
Selanjutnya yang bisa kita saksikan adalah bagaimana dengan cemerlangnya Lukman memainkan peran-peran dalam 15 film tersebut. Tidak jarang ia juga menuai banyak pujian dari para kritikus film dan meraih berbagai penghargaan seperti nominasi Pemeran Pendukung Pria Terbaik pada Festival Film Indonesia 2005 di Jakarta, The Best Actor pada Bali International Film Festival tahun 2006, nominasi untuk Most Favourite Actor - MTV Indonesia Movie Award 2006, nominasi Pemeran Utama Pria Terbaik - Festival Film Indonesia 2006 di Jakarta untuk Piala Vidia, dan juga Pemeran Utama Pria Film Terpuji di Festival Film Bandung 2006.
Meskipun telah mendapat pengakuan di industri perfilman, ternyata menjadi seorang aktor bukanlah cita-cita Lukman yang sebenarnya. Semasa SMA, Lukman justru bercita-cita menjadi seorang tentara. Untungnya cita-cita itu sekarang bisa ia nikmati lewat dunia seni peran kecintaannya. “Enaknya jadi aktor, kita bisa merasakan menjadi siapapun, seperti menjadi tentara yang merupakan cita-citaku, bisa aku rasakan diperanku dalam Film Merah Putih," papar Lukman. (Ind)
dari www.21cineplex.com
Press Screening Film Merah Putih: Bukan Hanya Adegan Perang
Decak kagum dari kalangan wartawan sebagai penonton saat adegan-adegan berkelahi atau ledakan muncul disana sini. Selain itu terdengar pula tawa karena film bernuansa nasionalis ini ternyata juga terselip komedi segar.
Setelah press screening, para pendukung film memberikan kesan-kesannya selama pembuatan film ini. Yang menarik adalah ketika Darius melontarkan pernyataan rasa bangga dan kecewanya. “Saya bangga dan kecewa untuk film ini. Bangga karena akhirnya ada film yang bisa membangkitkan rasa nasionalis lewat film perang dan sejarah. Film ini juga yang bergenre beda seperti kebanyakan film sekarang. Tapi saya kecewa kenapa ide awal untuk membuat film ini justru datang dari orang diluar bangsa Indonesia. Ternyata mereka lebih peduli daripada kita,” ujar Darius dihadapan para wartawan.
Tidak hanya para pendukung film yang memberikan kesan, para wartawan juga diberikan kesempatan untuk menyatakan kesan atau untuk bertanya mengenai film ini. Seperti salah satu wartawan yang menyatakan, jika film yang disebut-sebut sebagai film perang bergaya Hollywood ini justru tidak seheboh atau semegah film Hollywood pada umumnya. Jeremy Stewart sebagai salah satu produser eksekutif pun memberikan penjelasan. “Film ini merupakan trilogi, sebagai film pertamanya kami memberikan pengenalan terlebih dahulu terhadap para pemain dan jalan cerita, memang ledakan-ledakan dahsyat mungkin tidak sebanyak yang anda kira, tapi kita lihat saja di film kedua dan ketiganya yang saya jamin akan banyak aksi ledakan yang lebih dahsyat dengan taraf Hollywood,” jelas Stewart yang juga mengatakan bahwa film keduanya sudah selesai 70% dan film ketiganya 30%.
Mengapa film ini digembar-gemborkan ala Holywood? Lihat saja daftar kru yang terlibat antara lain Koordinator Special Effect dari Inggris, Adam Howarth (Saving Private Ryan, Black Hawk Down), Koordinator Pemeran Pengganti, Rocky McDonald (Mission Impossible II, The Quiet American), Make Up dan Visual Effect Artist, Rob Trenton (Batman-The Dark Knight), Ahli Persenjataan, John Bowring (Crocodile Dundee II, The Matrix, The Thin Red Line, Australia, X-Men Origins : Wolverine), dan Asisten Sutradara Mark Knight (December Boys, Beautiful).
Film ini akan dirilis secara nasional mulai 13 Agustus 2009 diseluruh bioskop Cineplex 21, dan untuk anda yang tidak sabar untuk menyaksikan film ini, bisa menonton Midnight Show pada 8 Agustus dibeberapa bioskop Cineplex 21. (eM.Yu)
Produser, penulis skenario dan sutradara memutar trailer perdana film Merah Putih serta meluncurkan website media desa Indonesia Senin sore (6/7) di Ballroom XXI, Djakarta Theater. Film ini berawal dari cerita Hashim Djojohadikusumo (Produser eksekutif PT Media Desa) yang menceritakan kisah nyata sejarah kemerdekaan Indonesia kepada Rob Allyn (Produser eksekutif Margate House) dan Jeremy Stewart (Margate House), kemudian dari ide cerita itu Rob berpikir kenapa kisah nyata ini tidak di buat film fiksi saja? Lalu Jeremy mencoba untuk melakukan riset dari berbagai sumber.
Selanjutnya tentang film 6 juta US dollar ternyata benar, "dengan menghabiskan dana 6 juta US dollar atau sekitar 60 miliar Rupiah untuk membayar para pemain dan 300 kruw - film, semoga film ini dapat mendidik dan menginsfirasikan penonton Indonesia", papar Rob Allyn dengan lancar dalam bahasa Indonesia, dan rencananya dia ingin belajar bahasa Indonesia lebih dalam lagi setelah premier film (13/7/09) mendatang.
Film ini akan di buat menjadi 3 episode seperti film Brand of Brother yang di buat menjadi 6 episode. "Rencananya akan kita buat tiga episode untuk tayang di bioskop dan enam episode untuk tayang di televisi", papar Hashim secara tegas. Selanjutnya film ini di produksi dengan skala besar dan tidak setengah-setengah karena film ini juga akan di bawa ke Festival Film baik dia Asia, Eropa maupun Amerika. Selain itu produser film ini juga akan membawa pemain serta aktor dan aktrisnya untuk di promosikan secara mendunia seperti aktor dan aktris di film yang ada di Hollywood.
Episode pertama dari Trilogi film MERAH PUTIH ini, merupakan hasil kolaborasi PT. Media Desa dan Margate House yang melibatkan profesionalitas perfilman terbaik dari tanah air maupun manca negara. Film ini juga melibatkan pembuat film terbaik dari dalam negeri dan luar negeri ini menjadi karya kolaborasi yang menyuguhkan kualitas film Hollywood.
Film ini disutradarai oleh Yadi Sugandi, yang pernah menjadi pembuat film dan penata gambar terbaik untuk Laskar Pelangi, Under The Tree, Tiga Hari Untuk Selamanya dan The Photograph, film Merah Putih ini juga menampilkan sebuah ensemble cast jajaran aktor dan aktris muda terbaik Indonesia: Lukman Sardi (Laskar Pelangi, Quickie Express, 9 Naga, Gie), Doni Alamsyah (Fiksi, 9 Naga, Gie), Darius Sinathrya (Ungu Violet, D�Bijis, Naga Bonar Jadi 2, Love), Zumi Zola (Kawin Laris), T. Rifnu Wikana (Kado Hari Jadi, Laskar Pelangi), dan film ini juga ingin memperkenalkan aktris yang pernah belajar akting di London dan Hollywood Rahayu Saraswati. (Ancah)
dikutip dari www.xotabloid.com
Senin, 03 Agustus 2009
Harga Sebatang Lidi
Karena, ia dipetik oleh tangan-tangan kecil yang tak menuntut banyak upah. Ia dijalin oleh wanita-wanita yang tak menghitung laba rugi. Ia juga dipikul oleh bahu-bahu legam pria yang tak terlalu mengerti transaksi jual beli. Sebatang sapu lidi itu begitu murah sampai di tangan kita, karena orang-orang itu tak menghitung jerih perih kerjanya. Mereka pun tak mengkalkulasi butir-butir keringatnya. Maka, mari kita sadari bahwa di balik kemurahan dan kemudahan yang kita cerap sekarang ini, terselip cerita tentang pengorbanan yang jauh lebih berharga ketimbang harga seluruh sapu lidi yang bisa kita beli.
Minggu, 02 Agustus 2009
Little Manhattan
dari film ini saia belajar…
Sederhana saja,
Film ini tentang jatuh cinta.
Bahkan saia mengabadikan kata Gabe pada Rosemary Telesco saat menyatakan cintanya, saia jadikan nada dering ponsel (Ih, konyol ya?)
Kalau lagi jenuh tapi nggak ada film yang ditonton, saia selalu muter ini. Dari film ini saia belajar banyak.
Lelaki punya dunianya sendiri yang tak bisa dipaksakan untuk kita masuki…
Perbincangan yang mengalir dengan seseorang yang kita cintai…
Membutuhkan Rosemary untuk belajar dan mencari jalan keluar…
Makan malam…
Menyatakan cinta…
Berpegangan dan percaya pada Gabe agar tak jatuh…
Meskipun akhirnya Rosemary menyatakan bahwa mereka masih terlalu muda untuk urusan cinta dan Gabe patah hati, namun tetap ada semangat baru yang tumbuh. Orangtua Gabe akur kembali, Rosemary fokus pada masa depannya… Gabe juga berhenti karate setelah tangannya cedera karena memaksakan diri meraih sabuk kuning.
Dari film ini saia terhibur dan belajar, karena berkat film ini saia mengerti dunia mereka. Cinta tak sebatas “Rosemary, I Love You…”, tapi bagaimana Gabe berputar-putar sebelum mengucapkan itu. Dan bagaimana Rosemary berpikir kembali setelah memutuskan berteman dulu dengan Gabe…
Selasa, 28 Juli 2009
Maen dulu ke semarang, Laen dulu laen sekarang...
Warna dasar hijau muda punya. Tapi sekaranglah waktunya saia ganti lembaran nan baru.
Saia tak hendak berlama-lama dengan kesedihan lama 'tu, tak hendak merajok...
Sekarang semua baru, termasuk blog saia punya ni.
Saia masih sedang dan terus belajar, masih banyak nian rahsia nan saia tak tau...
tentang ikhlas...dan syukur...
Bagailah mana saia temu apa nak bisa membuat saia bahgia, selagi saia tak membuat bahgia dunia...
Hehehe...
Chan rak khun...Phom rak khun...
Senin, 27 Juli 2009
Belajar Pada Air
Belajarlah pada sifat air…
1. Tidak mengalah
2. Tidak mengalahkan
3. Sampai tujuan
Tujuan air adalah laut.. Dari mata air di puncak gunung, air mengalir lewat sungai menuju laut.
Ketika jalannya terhalang oleh batu batu sungai, ia tidak mengalah, tapi ia juga tidak perlu mengalahkan batu itu. Ia lewat disampingnya.
Ketika dibendung oleh manusia dan tak dapat lagi mengalir, ia tidak mengalah. Ia tidak perlu mengalahkan bendungan itu, tapi ia meresap menjadi mata air di tempat yang lain atau menjadi uap air lalu menjadi hujan di tempat yang lain dan menjadi mata air di tempat yang lain.
Yang pasti, ia tetap pada tujuannya yaitu laut, tanpa mengalahkan batu batu sungai, bendungan, dll. Tidak pernah ia menyerah pada apa yang telah menjadi tujuannya yaitu laut. Semua itu dicapainya tanpa mengalah dan mengalahkan perintangnya.
Belajarlah darinya.
dari milis motivasi
www.inspirasipagi.blogspot.com
RAHASIA KECIL KEBAHAGIAAN
Rahasia kebahagiaan adalah memusatkan perhatian pada kebaikan dalam diri orang lain. Sebab, hidup bagaikan lukisan: Untuk melihat keindahan lukisan yang terbaik sekalipun, lihatlah di bawah sinar yang terang, bukan di tempat yang tertutup dan gelap sama halnya sebuah gudang.
Rahasia kebahagiaan adalah tidak menghindari kesulitan. Seperti Dengan memanjat bukit, kaki seseorang tumbuh menjadi kuat.
Rahasia kebahagiaan adalah melakukan segala sesuatu bagi orang lain. Seperti Air yang tak mengalir/ dia tidak berkembang. Namun, air yang mengalir dengan bebas selalu segar dan jernih.
Rahasia kebahagiaan adalah belajar dari orang lain, dan bukan mencoba mengajari mereka. Semakin Anda menunjukkan seberapa banyak Anda tahu, semakin orang lain akan mencoba menemukan kekurangan dalam pengetahuan Anda. Tahukah anda/ mengapa bebek disebut “bodoh”? Karena bebek terlalu banyak bercuap-cuap.
Rahasia kebahagiaan adalah kebaikan hati: memandang orang lain sebagai anggota keluarga besar Anda. Sebab, setiap ciptaan adalah milik Anda. Kita semua adalah ciptaan TUHAN yang satu.
Rahasia kebahagiaan adalah tertawa bersama orang lain, sebagai sahabat, dan bukan menertawakan mereka, sebagai hakim.
Rahasia kebahagiaan adalah tidak sombong. Bila Anda menganggap mereka penting, Anda akan memiliki sahabat ke manapun Anda pergi. Ingatlah/ bahwa musang yang paling besar akan mengeluarkan bau yang paling menyengat.
Kebahagiaan datang kepada mereka yang memberikan cintanya secara bebas, yang tidak meminta orang lain mencintai mereka terlebih dahulu. Bermurah hatilah seperti mentari yang memancarkan sinarnya tanpa terlebih dahulu bertanya apakah orang-orang patut menerima kehangatannya.
Kebahagiaan berarti menerima apapun yang datang, dan selalu mengatakan kepada diri sendiri “Aku bebas dalam diriku”.
Kebahagiaan berarti membuat orang lain bahagia. Seperti Padang rumput yang penuh bunga/ dia membutuhkan pohon-pohon di sekelilingnya, bukan bangunan-bangunan beton yang kaku. Kelilingilah padang hidup Anda dengan kebahagiaan.
Kebahagiaan berasal dari menerima orang lain sebagaimana adanya; karena pada kenyataannya/ kita sering menginginkan mereka bukan sebagaimana adanya. Betapa akan membosankan hidup ini jika setiap orang sama. Bukankah taman pun akan tampak janggal bila semua bunganya berwarna sama?
Rahasia kebahagiaan adalah menjaga agar hati kita terbuka bagi orang lain, dan bagi pengalaman-pengalaman hidup. Hati laksana pintu sebuah rumah. Cahaya matahari hanya dapat masuk bilamana pintu rumah itu terbuka lebar.
Rahasia kebahagiaan adalah memahami bahwa persahabatan jauh lebih berharga daripada barang; lebih berharga daripada mengurusi urusan sendiri; lebih berharga daripada bersikukuh pada kebenaran dalam perkara-perkara yang tidak prinsipiil.
KI/ Renungkan setiap rahasia yang ada di dalamnya.
Dari milis motivasi posted by inspirasipagi.imeldafm at 9:40 AM,
www.inspirasipagi.blogspot.com
Sabtu, 25 Juli 2009
Semangkuk Bakmi
SEMANGKUK BAKMI
©Sebuah cerpen racikanku
Tengs tu Mami Agatha
Lolita duduk di bangku halaman sekolah dengan wajah lesu. Semalam Aditya datang, hanya berkata bahwa dia ingin putus. Mereka sudah berpacaran selama
Lolita selalu menurut kata Aditya: jangan tidur larut malam, kurangi minum kopi, kurangi makanan berlemak, jangan terlalu banyak main sama cowok lain, belajar menyanyi agar bisa ikut nge-band… Demikian hebatnya tekad Lolita hingga rasanya dia sanggup menyatukan galaksi Andromeda dan Bimasakti dalam satu purnama!
Siang itu Lolita tak sanggup lagi membendung tangisnya. Dia menunduk, hingga tak menyadari ada Haris di sisinya.
“Ta?” tegur Haris hati-hati.
Lolita menangis lirih.
“Sori, Lolita…,” Haris meletakkan tangannya di bahu Lolita. Haris memang teman dekat Lolita, tapi mereka tak pernah satu kelas.
Haris adalah pelanggan tetap persewaan film milik kakak Lolita. Mereka juga sering nonton film bareng, terutama film yang diangkat dari kisah nyata. Haris selalu ceria, dia tak pernah menampakkan kesedihan atau mengeluh.
“Ta… Kalau tak keberatan, kamu bisa menceritakan…”
“Kenapa sih, Ris, aku selalu dicampakkan?”
“Selalu dicampakkan?”
“Dulu Arman, Hendrik, dan sekarang Aditya!”
“Ooo…,” Haris berpikir sebentar, “Ehmmm… mungkin kita memang perlu belajar membuat semangkuk bakmi…”
Lolita langsung menoleh, agak tersinggung karena mengira Haris cuma meledek.
“Kamu bercanda? Apa hubungannya?”
“Oke, Ta, kalau kamu mau berlarut-larut dengan kesedihanmu. Tapi sampai kapan, itu perlu kamu tentukan.”
“Aku mencintai Aditya, Ris.”
“Iya, aku tahu… Tapi kalau perasaanmu sudah membaik, temui aku sewaktu-waktu di lapangan basket.“ Mereka lalu kembali ke kelas, karena bel tanda masuk kelas sudah memanggil.
Seminggu kemudian…
Istirahat sekolah, Lolita dan Dini tak sengaja melewati lapangan basket saat menuju kantin. Haris sedang memantulkan bola, mengopernya pada Sam, lalu melambaikan tangan pada Lolita. Lolita teringat sesuatu, tapi berniat menemui Haris setelah dari kantin.
Di kantin, Lolita dan Dini memesan bakso. Selagi pesanan belum datang, dengan tubuh basah oleh keringat Haris bergabung. Celana abu-abunya juga kusut.
“Tambah mie instan goreng ya, Pak!” teriak Haris. Dia lalu menghadap Lolita.
“Sudah sembuh, Ta? Hehe…” godanya.
Dini yang diam-diam naksir Haris agak kecewa melihat Haris selalu dekat dengan Lolita. Kecewa diam-diam, tentu saja…
“Apa, sih?” sungut Lolita.
“Pokoknya kita belajar membuat semangkuk bakmi, Ta! Kamu akan tau maksudku.”
Makanan pesanan mereka mulai disajikan. Haris mengaduk sebentar mie instan goreng di piringnya.
“Eh, kalian tau, nggak, bedanya mie instan sama bakmi?” tanya Haris sambil mengacungkan garpunya yang dililit mie.
“Ya… kalau mie instan bikinnya gampang, kalo bakmi bikinnya ribet!” jawab Dini antusias.
“Bukan! Kalo mie instan di warungnya Abah Harun, kalo bakmi di Pak No! Ha ha ha…”
Mereka tertawa.
“Ah, payah ah! Haris nggak asik!” kata Lolita.
“Eh, nggak… nggak… becanda. Ini terutama buat Lolita ni ya… Kalo mie instan semuanya serba cepet, kalo bakmi butuh proses. Kamu bener, Din…”
Dini tertawa mendengar kata-kata Haris.
“Aku, lagi!” kata Lolita agak merasa tersindir.
“Sekarang aku tanya Dini, nih… Kalo kamu, suka makan mie instan ato bakmi?”
“Ya bakmi lah, Ris… Tanpa pengawet, pake sayur, sukur-sukur ada daging atau telurnya, hahaha…”
“Suka bikin mie instan ato bakmi?”
Dini berpikir sejenak. “Aaah… ini pertanyaan menjebak nih… sukanya sih bikin mie instan. Cepet sih… Eh kayaknya aku bisa paham arah pembicaraan ini, deh!”
Haris mengerlingkan matanya pada Dini.
“Ta, gimana kamu bisa jalan sama Arman saat SMP?”
“Dia sering pinjam koleksi film Mas Evan, kenalan, trus jadian. Eeeh… ternyata dia cuma nganggep aku adik. Kamu
“Ya… persiapan bikin semangkuk bakmi, sih… Lalu, kalau Hendrik?”
“Bakmi lagi, bakmi lagi! Kalo Hendrik… dia bilang cinta padaku. Ya udah, jalan aja, mumpung aku sendirian dan Hendrik selalu kelas unggulan, hehehe…”
“Aditya?” Kali ini Dini yang bertanya.
“Jelas kalau dia anak band, dan kami langsung jatuh cinta pada pandangan pertama saat festival band pelajar di sini, kan? Kalian kenapa, sih?”
“Seberapa besar cintamu pada Aditya?” tanya Haris.
“Gila! Aku lakukan semua yang dia inginkan, Ris! Aku belajar dari kegagalanku!”
“Kamu yakin, sudah belajar?” selidik Haris, “Sampai membuat bakmi?”
“Naaah… bakmiii, lagiii…!”
Mereka telah menyelesaikan makan saat bel masuk berteriak tiga kali.
“Gini deh, Ta… hari Minggu habis latihan basket aku ke rumahmu.”
Minggu pagi, Lolita di rumah sendirian. Ayah dan ibunya pemilik toko buah-buahan di depan pasar. Evan, kakaknya, berburu film baru di Semarang. Lolita masih mengepel lantai saat Haris datang membawa sepeda gunungnya.
“Ta! Ikut, yuuuk…”
“Basket? Nggak, ah!”
“Ayo, ada yang ingin kutunjukkan padamu…”
“Bakmi?” jawab Lolita sekenanya, sambil memasukkan lap ke dalam ember dan berjalan keluar. Haris diam, menunggu Lolita mendekat.
“Ta, jujur ni, selama ini di lapangan basket ada orang yang diam-diam menaruh perhatian padamu. Naksir kamu. Sumpah, orangnya keren tapi nggak neko-neko! Syaratnya... kamu belajar membuat semangkuk bakmi dulu...”
“Alah! Paling bisa-bisanya kamu aja, Ris!” Lolita menepuk bahu Haris.
“Nah, pelajaran pertama: kamu harus percaya, masih ada orang yang suka kamu!”
“Ngarang, ah! Teori!”
“Eeeh... apa pernah aku bohong padamu?”
Lolita berpikir sejenak. Haris memang teman baik yang selalu bisa dipercaya.
“Gini, Ta... setelah pekerjaanmu selesai, segeralah belanja sebungkus mie instan dan bahan-bahan bakmi.”
“Bingung aku, Ris!”
“Udah... ini uangnya pake punyaku dulu. Serius, Ta. Dua rius, ada orang selapangan denganku udah lama naksir kamu, tapi kamu malah jalan sama Aditya. Sekarang kamu bisa belajar lagi dari awal. Pikirkan itu baik-baik, Ta.”
“Dia suka bakmi?”
“Pokoknya kamu belanja dulu, habis latihan aku kembali.”
Di pasar, Lolita agak pusing juga mencari bahan-bahan bakmi. Jenis mie-nya saja macam-macam, dan Lolita membeli tiga merk berbeda. Sawi, kubis, merica, bawang merah, bawang putih, kecap, tomat... Mie instan sih sudah sangat mudah didapat. Tinggal pilih merk apa, rasa apa, jenis apa. Lolita juga membeli cabai.
Sampai di rumah, Lolita merebus air sambil menerka apa yang ada dalam pikiran Haris. Dalam hati sebenarnya Lolita bersyukur, masih ada yang memperhatikannya. Seperempat jam berikutnya Haris datang dengan keringat bercucuran. Lolita mulai sibuk membuat sepiring mie instan dan semangkuk bakmi. Peraturannya, Lolita membuat sendiri tanpa bertanya atau meminta bantuan orang lain.
Mereka berdua mencicipi hasil karya mereka sendiri. Lolita merasakan mie instan terasa seperti biasanya, dan bakmi yang pedasnya terasa aneh.
“Pake cabe ya, Ta?”
“Emang kalau bakmi nggak pake?”
“Ya enggak, lah! Pakenya cukup merica. Efeknya nggak pedes, tapi hangat...”
“Ehm... iya juga sih, ya... Eh, aku udah bikin mie sama bakmi nih! Boleh ketemu, nggak?”
“Nggak! Bakmi-nya belum bener!”
“Yaaa... kejam amat, sih?”
“Eh, cepet mana bikinnya?”
“Retoris, ah! Nggak perlu dijawab! Dari belanjanya aja cepet mie instan!”
“Namanya juga instan... Eh, besok buat bakmi lagi. Sayurannya masih bisa dipake, ‘kan? Mie-nya pake merk lain ya?”
“Ha?”
“Udah, kalau sudah mahir, kamu boleh ketemu dia. Dia juga temen baikku sih... Jadi, aku nggak mau kamu sembarangan lagi.”
Hari kedua, sepulang sekolah, Lolita membuat sepiring mie instan dan semangkuk bakmi. Haris dan Lolita saling mengomentari. Lolita sudah mulai bisa merasakan bakminya, sementara mie instan rasanya sama, dan malah membuat Lolita merasa eneg. Kali ini Lolita terlalu banyak garam, maka pada pembuatan selanjutnya Lolita hanya mengurangi garamnya. Mie kuningnya sendiri masih enak yang pertama, karena yang kedua agak cepat lembek.
Hari ketiga, Lolita memakan sesendok mie instan, itu saja karena dipaksa Haris. Lolita lebih penasaran dengan semangkuk bakminya, bagaimanapun rasanya. Bahan mie ketiga lebih cepat lembek lagi, padahal bumbunya sudah pas.
“Udah boleh ketemu belum, Ris? Lama-lama aku jadi monster bakmi, nih!”
“Pelajaran kedua: sabarrr! Berdoa!!!” kata Haris sambil menghabiskan mie instan.
Hari keempat, Lolita menggunakan bahan mie pertama dan adonan bumbu hari ketiga. Lolita juga bersemangat berbelanja ke pasar. Kali ini dia ingin menambahkan telur dan irisan daging ayam ke dalam bakminya. Pulang sekolah, Lolita segera mengundang Haris dan Dini datang kira-kira jam lima, saat Haris selesai basket.
“Hmmm... sekarang ini baru bakmi enak!” kata Haris. Dia bahkan tak menyentuh mie instan sama sekali. Pasti rasanya sama, dan timbunan vetsin di dalamnya bisa bikin pusing! Sementara itu Lolita bahkan sudah hampir melupakan rasa penasarannya bertemu teman Haris.
“Ta, hari Selasa sore minggu depan basket sekolah kita tanding di SMA 2. Kamu dateng aja, bawa bakmi sebanyak-banyaknya!”
“Yeee... emang aku tukang bakmi?!”
“Nggak... nggak gitu maksudku. Itu bisa jadi media kamu kenal Sam...” Haris segera menutup mulutnya, “Ups... kelepasan.”
Lolita kaget. Bagaimanapun Sam orang yang sepertinya sangat jaim, nggak bisa diajak komunikasi, dan hidupnya seperti hanya untuk basket. Kalau kata teman-teman di kelasnya sih, Sam termasuk cowok keren. Tapi, bagi Lolita? Kenal aja nggak...
“Sam...? Samsudin? Macam petugas KUA aja!”
“Eh... jangan gitu, Ta... Kamu ‘kan udah dapat pelajaran bikin bakmi, ‘kan?” kata Dini serius.
“Ta... aku setuju,” kata Haris.
Selasa sore, Lolita membawa bakmi-bakminya ke tempat duduk pendukung di tempat Haris bertanding. Dini ada, membawakan tas Haris. Mereka bersorak setiap kali bola di pihak sekolah mereka. Perhatian Lolita terpusat pada Sam dan Haris. Sesekali Sam memang melirik Lolita. Saat Sam mengukir kemenangan, refleks Lolita melonjak dan menarik-narik lengan Dini.
“Ayo... ayo... serbu bakminya!” teriak Haris setelah pertandingan usai. Dia lalu menyodorkan semangkuk pada Lolita, menyikut Lolita, dan pandangan matanya mengarah pada Sam. Sementara Dini sibuk membagi bakmi ke mangkuk-mangkuk.
Saat itu Sam mendekat. Lolita segera menyodorkan semangkuk bakmi. Sikapnya pas, tidak berlebihan, persis racikan bumbu bakmi.
“Lolita, ya?”
“Iya, teman Haris,” kata Lolita. Dia menunggu kata Sam selanjutnya sambil melihat cowok itu menyendok udang dan mulai mengunyahnya.
“Enak, Ta... Terima kasih, kamu dan temanmu sudah repot...”
“Ah... nggak pa-pa... Tapi Dini yang pinter. Aku sih masih belajar.”
Haris dan Dini hanya melihat Lolita dan Sam yang duduk agak menjauh dari mereka. Dini sendiri bahagia bisa datang untuk Haris.
Ternyata Sam tidak seperti pikiran Lolita. Dia pandai bercerita, menarik, dan memang suka bakmi. Bahkan Lolita juga nyaman-nyaman saja mendengarkan kisah pertandingan Sam. Sam juga suka nonton film, terutama film thriller, perang, komedi dan kisah nyata. Tak masalah meskipun Lolita lebih suka film drama, komedi, anak-anak, dan kisah nyata. Benar-benar menarik, tapi Lolita tak mau instan lagi. Dia menikmati saja, mengalir, dan belajar seperti membuat bakmi.
Mungkin memang proses yang panjang, tapi itu lebih baik. Dari menentukan uang belanja, memilih bahan, menjadi arsitek bentuk potongan bahan, komposisi bumbu, pengaturan panas, penuangan minyak, hingga bawang goreng dan modifikasi campuran.
Bahan baik, potongan pas, sudah merupakan sesuatu yang menarik. Komposisi bumbu: apa saja bumbunya, kalau sekarang ada yang kelebihan besok dikurangi, dan kalau sekarang kurang besok ditambah. Jika terlalu panas bisa gosong, kalau minyaknya kebanyakan jadi becek, dan bagaimana kalau dicampur telur, daging ayam, sosis, atau sekedar tahu goreng. Rasa hasil akhirnya berbeda, dan itu yang membuat kita penasaran ingin segera mencicipinya. Semua butuh proses penuh seni, dan itu tak ada pada mie instan.
Lolita juga menyadari bahwa memenuhi semua keinginan kekasihnya hingga tak berpendirian membuatnya merasa konstan, yang diawali dengan jatuh cinta instan. Pantas saja rasanya seperti mie instan, dan dia akan ditinggalkan.
“Ta, aku suka bakmi, loh...,” kata Sam.
“Oya? Kenapa?” tanya Lolita santai.
“Karena aku menghargai perjuangan. Seperti pertandingan ini, ‘kan?”
Lolita dan Sam tertawa. Hanya Tuhan yang tahu bahwa mereka sama-sama berterima kasih pada semangkuk bakmi setelah padaNya. Sam berterima kasih bisa berbincang dengan Lolita karena bakmi yang ditawarkan Lolita. Lolita berterima kasih karena dari semangkuk bakmi dia dapat belajar memulai hari dan cinta baru yang lebih baik.
Karena bakmi yang tinggal semangkuk, Haris dan Dini menikmati berbagi.
☺
LuvLy Salatiga, 270109